Ekonomi RI yang Melesat 7% Dinilai Semu dan Rapuh, Kok Bisa?

 

Jumat, 06 Agustus 2021 | 11:30 WIB

Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 sebesar 7,07%. Ekonomi Indonesia tumbuh cukup melesat dibanding kuartal I-2021 yang minus 0,74%. Angka tersebut cukup mengejutkan banyak pihak dan jauh dari perkiraan kebanyakan ekonom dan pelaku keuangan yang saat itu memprediksikan sekitar 5%.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Wibowo menilai ekonomi membaik namun sangat rapuh. Menurutnya, angka 7,07% diperoleh dari basis Produk Domestik Bruto (PDB) yang anjlok drastis pada tahun lalu.

"Kita tahu, ekonomi tumbuh minus 5,32% pada kuartal II/2020. Ini memberikan basis perhitungan PDB yang rendah," kata Dradjad saat dihubungi detikcom, Jumat (6/8/2021).

Dia mengatakan, pertumbuhan ekonomi memang baik namun yang perlu digaris bawahi adalah pelonggaran saat itu membuat kasus COVID-19 melonjak tajam. Dia pun melihat keganjalan dari tingkat konsumsi yang tumbuh lebih tinggi dari biasanya.

"Pertumbuhan 7,07% itu antara lain karena kita melonggarkan pergerakan orang pada kuartal II/2021. Efeknya, konsumsi tumbuh 5,93%, lebih tinggi dari 'biasanya'. Beberapa tahun terakhir, konsumsi 'biasanya' tumbuh sedikit di atas atau di bawah 5%," jelasnya.

Selain itu, dia juga mengatakan, selisih antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi kali ini cukup besar. Kondisi tersebut dinilainya di luar kebiasaan.

"Saya masih harus melihat tren ke depan untuk mengetahui apakah hal ini hanya lonjakan sesaat atau awal perubahan yang lebih mendasar. Jika yang terjadi adalah lonjakan sesaat dari komponen pengeluaran yang lain, ini menandakan lebih tingginya tingkat kerapuhan dari pertumbuhan ekonomi. Karena, konsumsi sebagai soko gurunya cenderung menurun di kuartal III/2021," jelasnya.

Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan, pemulihan ekonomi tersebut hanya bersifat semu. Menurutnya, Indonesia berhasil keluar satu kuartal dari resesi namun proyeksi pertumbuhan kembali minus di kuartal III-2021 karena ada lonjakan COVID-19 dan PPKM Level 4.

"Jangan keburu senang dulu karena pemulihan semu satu kuartal. Konsumsi rumah tangga bisa melemah lagi, dan motor dari investasi juga terpengaruh dengan adanya PPKM," kata Bhima.

Dia mengatakan, pertumbuhan ekonomi di kuartal II wajar saja terjadi. Menurutnya, jangan terlalu berbangga diri dengan pertumbuhan ekonomi positif tersebut, mengingat masih ada ancaman minus di kuartal selanjutnya.

"Ya itu biasa saja. bahkan China setelah anjlok dalam -6,8% di Q1 2020 rebound nya sampai 18,3%. AS juga sama rebound nya 12,2%. Kalau Indonesia rebound dari low base hanya 7% kenapa bangga?," ujarnya.

Pertumbuhan kuartal II terjadi low base effect. Saat kuartal kedua, mobilitas masyarakat masih lebih baik daripada kuartal III ada PPKM Darurat. Indeks Keyakinan Konsumsi naik menjadi 107,4 menunjukkan masyarakat mulai optimis berbelanja.

"Waktu itu mobilitas sudah mulai tinggi, meski belum seperti pra pandemi. Seruan dilarang mudik, tapi tempat wisata dibuka juga membuat sektor transportasi, akomodasi naik," jelasnya.

Akan tetapi, kualitas pertumbuhan dinilainya sangat rendah. Yaitu hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan serapan tenaga kerja.

"Untuk kualitas pertumbuhan di kuartal ke II sebenarnya rendah meski pertumbuhan sampai 7%. Hal ini bisa dicek dari sektor-sektor yang tumbuh tinggi justru sektor non tradable (tidak menghasilkan barang) seperti jasa keuangan, transportasi, perhotelan dan perdagangan. Sementara sektor yang serapan tenaga kerjanya besar di tradable yakni sektor pertanian cuma tumbuh 0,38% yoy dan industri di naiknya 6,58%," ungkapnya.

Link Berita : https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5671935/ekonomi-ri-yang-melesat-7-dinilai-semu-dan-rapuh-kok-bisa

 

  • Hits: 669

Tiga Alasan Ekonom Indef Tolak PPN Sembako dan Pendidikan

Sabtu, 19 Juni 2021, 11:32 WIB

Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo memberi tiga alasan agar sebaiknya pemerintah tidak mengenakan pajak terhadap sembako dan jasa pendidikan. Diingatkannya bahwa pertanian merupakan srktor yang paling konsisten tumbuh selama masa pandemi Covid-19.

Dradjad mengaku bisa memaklumi kalau pemerintah menggagas berbagai wacana ekonomi dan fiskal. Terlebih resesi sudah berjalan satu tahun, penerimaan pajak seret, utang naik, beban pembayaran utang makin besar. Sementara dari sisi pertumbuhan sebenarnya, karena faktor konsumsi Ramadhan dan Idul Fitri lalu, perekonomian tumbuh positif di kuartal kedua 2021. Namun ledakan kasus Covid-19 yang terjadi sekarang bisa mengganggu peluang tersebut.

“Jadi bisa dimaklumi dengan beberapa wacana tersebutl tersebut,” ungkap Dradjad, kepada Republika.co.id, Sabtu (19/6).

Namun, lanjut Dradjad, pengenaan pajak untuk sembako dan jasa pendidikan adalah hal yang kontraproduktif. Memang narasi publiknya dibuat cantik, dengan menyebut hanya sembako premium yang kena pajak. Dan hanya jasa pendidikan komersial yang kena PPn. “Tapi tetap saja tidak mampu menutupi konten yang kontraproduktif,” kata Ketua Dewan Pakar PAN tersebut.

Dradjad menyebut hal ini kontraprodutif karena pertama, studi terbaru yag diterbitkan 2019, menunjukan bahwa PPn meningkatkan ketimpangan berbasis pendapatan. “Ini studi di semua negara di dunia yang menerapkan PPn, kecuali bekas Uni Soviet,” jelas Dradjad.

Jika Indonesia mengenakan PPN terhadap sembako dan pendidikan, yang tadinya bebas PPN, kata Dradjad, maka ketimpangan akan memburuk. Padahal pandemi sudah membuat ketimpangan memburuk.

Kedua, jika yang dikenakan PPN hanya sembako premium, tapi dalam bahasa ekonomi, permintaan beras premium itu elastis. Artinya, kalau harga naik 1 persen karena kena PPN maka jumlah yang akan diminta akan turun dengan prosentase yang lebih besar.

“Dampaknya, harga di tingkat petani nanti akan turun dan produksi juga bisa turun. Di sisi lain beras yang nonpremium harga di tingkat konsumen akan bisa naik. Tentu ada potensi inflasi dan sebagainya,” papar Dradjad.

Dan hal yang harus diingat, kata Dradjad, selama pandemi Covid-19 pertanian, perikanan, dan kehutanan menjadi sektor yang konsisten tumbuh secara positif di atas 2 persen. Terakhir di kuartal pertama 2021 tumbuh 2,95 persen.

“Sukses tanaman pangan, termasuk beras di dalamnya, malah tumbuh 10,2 persen di kuartal pertama 2021,” kata ekonom senior ini. Pada saat pertumbuhan ekonomi masih labil karena gangguan ledakan kasus Covid-19, lanjut Dradjad, tidak logis kalau sektor ini diganggu.

Alasan ketiga, menurut Dradjad, berdasar data, nilai PPN yang tidak dikenakan pada jasa pendidikan nilainya selama 2016-2019 hanya Rp.8 triliun hingga Rp.10,5 triliun. Jika dikurangi jasa pendidikan bermisi sosial kemanusian tentu nilainya lebih rendah.

Jika PPN dikenakan, kata Dradjad, jelas biaya pendidikan akan semakin mahal. Meskipun hanya untuk jasa pendidikan komersial. “Pantaskah negara mengejar angka sekecil itu, sementara di sisi lain prioritas periode kedua Presiden Jokowi adalah sumberdaya manusia?” tanya dia.

Dradjad menyarankan sebaiknya pemerintah mengejar potensi penerimaan yang lain. "Dan saya pernah melihatnya ketika masih bertugas di lembaga intelijen ada potensi itu. Silakan digali potensi tersebut, tentu dengan cara baik-baik bukan dengan cara kekuasaan,” ungkapnya.

Link Berita : https://www.republika.co.id/berita/quxlym318/tiga-alasan-ekonom-indef-tolak-ppn-sembako-dan-pendidikan

  • Hits: 607

Sangat Mendesak : Ketegasan Kesehatan dan Terobosan Fiskal

 

Kompas.com – 19/06/2021, 10:31 WIB

Editor: Palupi Annisa Auliani

DI ANTARA berbagai masalah penting yang muncul belakangan ini, ada dua yang sangat mendesak urgensinya.

Pertama, lonjakan kasus COVID-19 di beberapa kota yang membuat sebagian rumah sakit kewalahan. Kedua, wacana pajak pertambahan nilai (PPN) bagi barang kebutuhan pokok dan jasa pendidikan.

Kenapa sangat mendesak?

Alasannya, masalah yang pertama merupakan ancaman terhadap keselamatan rakyat dan sekaligus merusak pemulihan ekonomi.

Adapun masalah yang kedua, dia bisa menjadi gangguan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sekaligus mencerminkan kurang kokohnya stabilitas fiskal.

Untuk mengatasinya, hemat saya pemerintah perlu lebih tegas di bidang kesehatan dan berusaha lebih keras lagi mencari terobosan fiskal. Mari kita bahas keduanya.

Lonjakan kasus

Menjawab rekan jurnalis pada awal Juni 2021, saya sampaikan bahwa dilihat dari kondisi penularan Covid-19 (the state of COVID-19 transmission) per 5 Juni 2021, Indonesia berada pada zona kuning pandemi dengan risiko memburuk ke zona merah.

Penilaian ini saya buat berdasarkan fungsi produksi kesehatan yang saya tulis dalam artikel When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for Covid-19 control policy, yang terbit di BMC Public Health 21.

Dalam artikel tersebut, kondisi penularan di satu negara atau wilayah saya bagi ke dalam tiga zona, yaitu merah, kuning, dan hijau.

Di zona merah, jumlah kasus harian Covid-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan E di atas 1. Berbagai Tindakan Kesehatan Publik (TKP) seperti penutupan perbatasan, lockdown, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan.

Di zona kuning, jumlah kasus harian menurun tetapi E masih di atas 1, sehingga pelonggaran TKP tidak direkomendasikan. Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan E antara 0 dan 1. Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, tetapi perlu menghitung risiko re-eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian.

Saya memakai E karena negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi R dengan akurat.

Keterbatasan anggaran, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar R0 pada awal pandemi.

Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat. Padahal, R adalah indikator kunci dalam menilai kondisi penularan.

Saya membangun “jembatan sederhana” antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi agar elastisitas bisa dipakai ketika R yang akurat tidak tersedia.

Hasilnya, metode di atas mampu memperkirakan re-eskalasi kasus di Perancis, Jerman, Italia, dan Inggris pada Semester 2/2020. Angka E yang meningkat terbukti menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus.

Untuk Indonesia, hingga 5 Juni 2021 elastisitasnya masih 1,45. Selama periode 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, E mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021. Setelah itu tren-nya menurun.

Saat liburan Idul Fitri, angkanya sempat di bawah 1. Namun, angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes. Terbukti setelah liburan, E kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning.

Karena E dalam tren menaik, risiko masuk ke zona merah pun tidak bisa diabaikan, dan ini benar-benar terjadi sejak pekan ke-2 Juni 2021. Implikasinya, pada bulan Juni 2021, Indonesia seharusnya memperketat TKP.

Ketegasan kesehatan

Harus diakui terdapat banyak hambatan untuk memperketat TKP. Beberapa di antaranya adalah, pertama, Indonesia memiliki banyak sekali pekerja yang tergantung pada penghasilan harian.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang yang bekerja pada Agustus 2020, sekitar 77,67 juta orang atau 60.47 persen adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap.

Sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian. Jika dilakukan TKP total seperti Australia dan Selandia Baru, siapa yang menafkahi mereka dan keluarganya?

Kedua, jika TKP diterapkan terlalu ketat, konsumsi rumah tangga akan semakin terkontraksi. Padahal, konsumsi rumah tangga adalah penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi, yaitu 57,66 persen pada 2020.

Dengan TKP yang praktis “tidak berjalan” saja, konsumsi masih terkontraksi -3,61 persen (kuartal 4/2020) dan -2,23 persen (kuartal 1/2021). Konsumsi makanan dan minuman selain restoran bahkan anjlok, dari kontraksi -1,39 persen (kuartal 4/2020) menjadi -2,31 persen (kuartal 1/2021).

Konsumsi restoran dan hotel masih terkontraksi -4,16 persen (kuartal 1/2021), meski membaik dari -7,28 persen (kuartal 4/2020). Konsumsi kesehatan dan pendidikan malah turun dari 0,64 persen (kuartal 4/2020) menjadi 0,31 persen (kuartal 1/2021).

Masih banyak hambatan lain, mulai dari kelelahan psikologis masyarakat, rendahnya disiplin, hingga maraknya disinformasi dan mispersepsi tentang Covid-19. Jadi, memang tidak mudah menerapkan TKP ketat.

Namun, dengan memburuknya penularan Covid-19, pemerintah harus tegas melakukan pengetatan TKP.

Angka E Indonesia sudah terlalu tinggi, sebagian rumah sakit kewalahan, sementara tenaga kerja kesehatan kelelahan dan banyak yang menjadi korban. Jangan sampai sistem pelayanan kesehatan kita kolaps karena ledakan kasus.

Pertimbangan lain, program vaksinasi kita masih jauh dari level herd immunity. Riset vaksin Merah Putih masih jauh dari uji klinis fase 3, sementara riset obat Covid-19 tersendat.

Jangan lupa juga, seperti sering saya tulis sebelumnya, negara yang disiplin dengan TKP cenderung lebih cepat pulih ekonomi dan kehidupan sehari-harinya.

Riset vaksin dan obat

Langkah lain yang sangat mendesak adalah percepatan vaksinasi serta menjadikan riset vaksin dan obat Covid-19 sebagai prioritas pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas).

Alasannya, pandemi ini akan berjangka multi-tahun sehingga kita memerlukan beberapa kali vaksinasi. Sangatlah rawan bagi hankamnas jika Indonesia tidak mempunyai vaksin sendiri. Karena itu, riset vaksin Merah Putih harus digenjot dan dipercepat.

Riset obat juga sangat krusial. Dunia perlu menurunkan lamanya waktu perawatan, tingkat kesakitan, dan kematian karena Covid-19.

Karena itu, saya sangat menyayangkan kontroversi terkait riset obat dari Universitas Airlangga, TNI AD, dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Kita jangan berpandangan sempit. Dimensi pandemi itu bukan hanya kesehatan dan ekonomi, tapi juga hankamnas. Jadi, institusi hankamnas memang wajib mendukung riset vaksin dan obat, tentu dengan tetap memenuhi etika, prosedur dan persyaratan ilmiah di bidang medis.

Terobosan fiskal

Peningkatan konsumsi rumah tangga selama Ramadhan dan Idul Fitri sebenarnya membuat perekonomian berpeluang tumbuh positif di kuartal 2/2021. Namun, ledakan kasus pada Juni 2021 bisa merusak peluang tersebut.

Ini menambah berat perekonomian Indonesia. Terlebih lagi, resesi sudah berjalan satu tahun, dunia usaha kesulitan, penerimaan pajak seret, dan utang melonjak dengan beban pembayaran yang membesar.

Karenanya, bisa dimaklumi jika pemerintah menggagas berbagai wacana ekonomi dan fiskal. Namun, saran saya, wacana kontraproduktif seperti pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) barang kebutuhan pokok dan jasa pendidikan sebaiknya dihindari.

Memang, narasi publiknya dibuat cantik, yaitu hanya sembako premium dan jasa pendidikan komersial yang dikenai PPN.

Sembako biasa dan jasa pendidikan bermisi sosial kemanusiaan tidak kena PPN. Namun, narasi seperti itu tetap tidak bisa memoles konten yang memang kontraproduktif. Karena, pertama, studi terbaru menunjukkan PPN meningkatkan ketimpangan berbasis pendapatan.

Ini adalah hasil analisis terhadap semua negara yang menerapkan PPN, kecuali negara bekas Uni Soviet, dalam artikel Kaisa Alavuotunki, Mika Haapanen, dan Juka Pirttilä berjudul The Effects of the Value-Added Tax on Revenue and Inequality, di The Journal of Development Studies volume 55.

Pengenaan PPN terhadap sembako dan pendidikan yang tadinya bebas PPN akan memperburuk ketimpangan yang sudah memburuk karena pandemi.

Kedua, katakanlah sembako yang kena PPN hanya beras premium. Karena permintaan beras premium cenderung elastis, satu persen kenaikan harga akibat PPN akan diikuti oleh penurunan jumlah permintaan dalam prosentase yang lebih besar.

Dampaknya, harga di tingkat petani penghasil beras premium akan turun dan ujungnya adalah produksi bisa turun. Di sisi lain, harga beras non-premium di tingkat konsumen bisa naik, dengan potensi dampak inflasi, pertumbuhan, dan ketimpangan.

Saya tidak akan mengklaim pengaruhnya dengan rinci karena perlu riset yang lebih teknis. Tapi, satu-satunya sektor yang konsisten tumbuh positif selama pandemi adalah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.

Dia tumbuh di atas 2 persen, terakhir 2,95 persen pada kuartal 1/2021. Subsektor tanaman pangan di mana beras bergabung malah tumbuh 10,32 persen (kuartal 1/2021).

Pada saat pertumbuhan masih labil, logiskah mengganggu sektor ini?

Ketiga, dari data Kementerian Keuangan sendiri, nilai PPN yang tidak dikenakan terhadap jasa pendidikan selama 2016-2019 itu hanya Rp 8,0-10,5 triliun. Setelah dikurangi “jasa pendidikan bermisi sosial kemanusiaan”, nilainya tentu lebih rendah.

Jika PPN dikenakan, jelas biaya pendidikan semakin mahal, meski dinarasikan “jasa pendidikan komersial”. Pantaskah negara mengejar penerimaan sekecil itu, sementara prioritas periode kedua Presiden Jokowi adalah sumber daya manusia?

Saya pernah bertugas di bidang hankamnas dan melihat berbagai potensi penerimaan negara yang bisa lebih besar dari PPN sembako dan pendidikan. Saran saya, sebaiknya pemerintah menggali potensi ini, tentu dengan baik-baik, bukan secara semena-mena.

Citasi untuk artikel jurnal di kolom ini:

Kaisa Alavuotunki, Mika Haapanen & Jukka Pirttilä (2019) The Effects of the Value-Added Tax on Revenue and Inequality, The Journal of Development Studies, 55:4, 490-508, DOI: 10.1080/00220388.2017.1400015

Wibowo, D.H. When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021). https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x



Link Berita : https://money.kompas.com/read/2021/06/19/103129426/sangat-mendesak-ketegasan-kesehatan-dan-terobosan-fiskal?page=all#page2

 

  • Hits: 700

Negara Perlu Uang, Dradjad: Kemenkeu Harusnya Kreatif

Sabtu 03 Jul 2021 09:42 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo mengingatkan efek ekonomi dari restriksi kesehatan publik. Untuk itu pemerintah disarankan untuk kreatif dalam menggali potensi penerimaan negara.

Dradjad mengatakan, PPKM Darurat akan mengganggu ekonomi. Namun, lanjut dia, belajar dari pengalaman pandemi flu Spanyol, maupun penanganan pandemi covid-19 di Australia, Selandia Baru, Taiwan, justru jika disiplin dalam restriksi kesehatan publik, maka ekonomi justru akan lebih cepat pulih. “Memang seperti itu konsekuensinya,” kata Dradjad, kepada Republika.co.id, Sabtu (3/7).

Hal yang bisa dilakukan negara, menurut Dradjad, adalah mengurangi beban pelaku ekonomi. Caranya dengan memberikan stimulus fiskal. Ini juga dilakukan AS, negara-negara eropa.

Mengenai dananya, menurut Dradjad, tidak ada pilihan lain kecuali kementerian keuangan lebih kreatif dalam menggali sumber-sumber penerimaan. Baik menggunakan tehnologi informasi, memperbaiki inteligen, maupun mengendus dimana ada dana yang bisa digali untuk penerimaan negara.

“Dalam hal penerimaan negara ini, kita tidak bisa bussines as usual. Kita harus melakukan terobosan-terobosan,” ungkapnya. Dradjad mengatakan sudah pernah bertugas di lembaga intelijen, dan tahu dimana masih ada sumber-sumber penerimaan yang masih bisa digali.

Terkait dengan pelaksanaan PPKM Darurat, Dradjad mempertanyakan langkah pemerintah, yang belum melakukan pengetatan terhadap jalur penerbangan dan laut dengan luar negeri.  Penerbangan dan laut masih terbuka bagi masuknya orang asing ke Indonesia.

Dradjad menyambut poistif langkah pemerintah melakukan PPKM Darurat.  Namun ia berharap PPKM Darurat bisa lebih ketat. Dipaparkannya, dengan masih dibukanya supermarket, toko kelontong dengan kapasitas buka 50 persen, serta masih buka hingga pukul 20.00 WIB,  ini masih mengandung  risiko.

“Tapi yang paling krusial adalah kenapa kita tidak menutup perbatasan kita untuk jalur penerbangan maupun laut. Dan harusnya membatasi yang boleh masuk hanya sedikit saja,” kata Dradjad.

Salah satu kunci dalam restriksi kesehatan publik adalah penutupan jalur penerbangan maupun laut. Hal ini, menurut Dradjad, perlu dipertimbangkan, karena varian delta masuknya dari luar.

https://www.republika.co.id/berita/qvmhtp318/negara-perlu-uang-dradjad-kemenkeu-harusnya-kreatif

  • Hits: 539

Soal Dinar, Polisi Disarankan Tunda Penahanan Zaim Saidi

 

Kamis 04 Feb 2021 18:22 WIB

Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo menyarankan Polri untuk menangguhkan penahanan terhadap Zaim Saidi. Hal ini karena pengunaan uang nonrupiah juga banyak dilakukan di daerah perbatasan.

“Mudah-mudahan, Kapolri Jenderal Sigit mau menerapkan falsafah pener dalam bahasa Jawa untuk kasus ini,” kata Dradjad kepada Republika, Rabu (4/2). Hal itu akan menjadi langkah yang bijak dan sangat bermanfaat bagi semua pihak.

Ada sejumlah alasan atas usulannya tersebut. Pertama, dari sisi UU Mata Uang (UU 7/2011), penggunaan dinar dan dirham untuk bertransaksi memang melanggar UU dan diancam pidana. Jadi, Polri benar dalam penegakan hukum kasus ini.

“Namun, dari sisi UU Mata Uang, pidananya adalah ringan. Karenanya, langkah persuasif akan sangat bagus jika diterapkan,” kata Dradjad.

Kedua, pada 2017 Agus Martowardoyo, gubernur BI waktu itu, pernah mneyatakan berhasil menurunkan transaksi di dalam negeri yang menggunakan valas. Sebelumnya, jumlah transaksi tersebut adalah 6 miliar dolar AS-8 miliar dolar AS sebulan. Tahun 2017 turun menjadi 1,3 miliar dolar AS atau lebih dari Rp 18 triliun sebulan atau lebih dari Rp 216 triliun setahun.

Artinya, kata Dradjad, pada saat itu masih banyak pihak yang bertransaksi memakai valas, padahal seharusnya memakai rupiah. “Pertanyaannya, apakah mereka ditahan?” tanya Dradjad.

Yang munvul di berita, kata Dradjad, BI di bawah Agus Marto dibantu instansi lain termasuk Polri melakukan sosialisasi ke perbatasan Kalimantan, Batam, dan daerah lain. Agus Marto bahkan menemui sebagian menteri untuk membantu penggunaan rupiah di dalam negeri.

Ketiga, dari yang saya baca, pasar muamalah itu sudah cukup lama, meski hanya berjalan beberapa jam sepekan sekali. Pertanyaannya, pernahkah BI melakukan sosialisasi agar pasar tersebut memakai rupiah?

Keempat, masih banyak rakyat Indonesia yang memakai mata uang asing, terutama di perbatasan. Bahkan, di salah satu daerah di Kalimantan, pedagang yang memakan valas juga menjadi nasabah bank BUMN. Itu dalam berita akhir Desember 2020, masih baru saja.

Mereka jelas melanggar UU Mata Uang. Tapi, apakah mereka akan ditangkapi semuanya?

Kelima, Zaim ini cukup banyak jasanya dalam penguatan masyarakat sipil (civil society) di Indonesia. Zaim pernah di YLKI, Walhi, dan juga LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia). “Saya sendiri pernah menjadi Direktur Eksekutif LEI,” ungkap Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar PAN itu.

Dradjad mengaku, tidak kenal dekat dengan Zaim secara pribadi. Zain satu tahun di atas Dradjad di kampus IPB. Zaim sempat setahun menjadi pengurus DPP PAN 1999-2000. Tapi, mengingat jasa-jasanya, rasanya cukup bijak jika penahanannya ditangguhkan.

Mengenai penggunaan Pasal 9 UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Dradjad mengatakan, bukan ahli hukum untuk menafsirkannya. Dradjad hanya berpesan dengan langkah pener, langkah bijak, tali persaudaraan sesama anak bangsa akan lebih kuat. Ini diperlukan untuk menghadapi pandemi.

Link Berita : https://republika.co.id/berita/qo04x5318/soal-dinarpolisi-disarankan-tangguhkan-penahanan-zaim-saidi

 

  • Hits: 655

Page 26 of 28

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id