Dradjad: Awas Perubahan Iklim Berefek Multiplier ke APBN

Rabu 17 Nov 2021 16:55 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti senior INDEF Dradja Wibowo mengatakan isu perubahan iklim akan punya efek multipliernya besar sekali ke APBN, lapangan kerja dan ekonomi daerah.

Dradjad mengatakan kabon dan perubahan iklim (climate change) tidak bisa bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG) No. 13 dalam melawan perubahan klim dan dampaknya. Persoalan sustainability dan keberlanjutan, dinilai Dradjad, berperan dalam meningkatkan ekspor dan ekonomi Indonesia.

"Efek multipliernya besar sekali ke APBN, lapangan kerja dan ekonomi daerah. Kelalaian mengurusi kelestarian terbukti memberikan kerugian besar baik bagi pengusaha mapun negara,” kata Dradjad dalam pesan watsappnya kepada Republika.co.id, Rabu (17/11).

Dijelaskannya, Joe Biden menjadikan perubahan iklim menjadi isu prioritas Joe Biden, dengan menerbitkan Executive Order (EO) 14008, pada 27 Januari 2021. Cakupan dari EO 14008 tidak hanya di dalam negeri Amerika Serikat (AS) tetapi juga di luar AS. John Kerry, sang tokoh kunci Paris Agreement, menjadi pejabat setingkat menteri di AS yang mengurusi climate change. AS pun tidak hanya mengutus lembaga-lembaga lingkungannya saja untuk mengurusi climate crisis, tapi lembaga-lembaga keamanan nasionalnya juga diminta ikut terlibat. Karena, AS mengantisipasi isu climate change yang oleh AS diprediksi akan menjadi salah satu sumber konflik ke depan.

Dalam konteks ini, menurut Ketua Dewan Pakar PAN ini, yang menjadi kunci bagi negara berkembang adalah soal finance. Selalu ada komitmen dan selalu ada consensus tapi real mechanism tidak pernah bisa dijalankan sehingga uang 100 miliar USD yang selalu didengungkan sampai sekarang belum terbukti. ''Monetary value dari carbon agreement yang pertama paling real bisa diihat pada 100 miliar USD. itupun masih panjang karena mekanismenya belum ada,” kata Dradjad.

https://www.republika.co.id/berita/r2pesf318/dradjad-awas-perubahan-iklim-berefek-multiplier-ke-apbn

  • Hits: 798

Berapa Sebenarnya Utang Indonesia ke China?

Sabtu 16 Oct 2021 14:21 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef Dradjad Wibowo menyarankan Kemenkeu dan Bank Indonesia (BI), menjelaskan diskrepansi yang sangat besar antara Laporan AidData dengan Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) yang resmi diterbitkan BI berdasarkan data resmi Kemenkeu dan BI.

"Menurut SULNI, per Agustus 2021 utang luar negeri Indonesia dari China sebesar USD 21.13 milyar, terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 1.67 milyar dan utang swasta USD 19.46 milyar,” kata Dradjad, dalam pesan tertulisnya melalui Watsapp, Sabtu (16/10).

Dradjad menyebut diskrepansinya tidak tangung, sampai USD 13.25 milyar atau Rp 187,55 triliun berdasarkan kurs tengah BI hari ini. Diskrepansi ini jauh lebih besar dari anggaran Kemenhan ditambah Kemenkeu dalam APBN 2021 yang sebesar Rp 162,21 triliun.

"Di mana letak diskrepansi tersebut? Apakah ada dalam utang pemerintah atau swasta? Teman-teman di Komisi 11 dan BPK perlu menelusuri, yang benar data Kemenkeu dan BI atau data AidData? Penjelasan tentang diskrepansi ini sangat penting sekali. Saya sendiri tidak mengetahui siapa yang benar,” papar Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Terlepas dari diskrepansi tersebut, Dradjad mengatakan membaca di berbagai laporan, termasuk dari BBC yang juga mengutip AidData, utang dari China tersebut disebut mahal dan tidak transparan. Contohnya adalah berita BBC tanggal 29 September 2021 berjudul “China: Big Spender or Loan Shark?”. Judulnya mempertanyakan China ini tukang jor-joran belanja atau rentenir. Dalam laporan itu disebut bagaimana utang China mencekik Laos, dan adanya praktek off-the-books lending. Maksudnya, pemberian pinjaman yang tidak dicatatkan resmi dalam buku pemerintah.

Kemenkeu dan BI, menurut Dradjad, wajib transparan membuka terms and conditions dari utang China tersebut. Mereka perlu menunjukkan bahwa Indonesia tidak seperti Laos yang terkena utang mahal dan ada praktek off-the-books lending.

"Semua hal di atas sangat penting karena besar pengaruhnya thd stabilitas fiskal Indonesia di masa mendatang, selain terhadap situasi ekonomi dan sosial generasi mendatang,” ungkap Dradjad.

https://republika.co.id/berita/r12742318/berapa-sebenarnya-utang-indonesia-ke-china

  • Hits: 847

Selamatkan Garuda, Ekonom Sarankan Ini

Jumat, 05 Nov 2021 - 18:34 WIB

Maju-mundur penyelamatan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Ekonom senior INDEF, Dradjad H Wibowo tegas menyebut harus diselamatkan. Diam-diam, dia punya solusinya.

Kepada Inilah.com, Jakarta, Jumat (5/11/2021), Dradjad mengatakan, Garuda masih bisa diselamatkan dan memang wajib hukumnya. “Iya dong harus diselamatkan.masih banyak kok caranya,” papar Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar DPP PAN itu.

Tentu saja, Dradjat tidak main-main dengan pernyataannya itu. Apalagi, ketika masih menjadi anggota DPR, dirinya pernah diminta SBY untuk mencarikan solusi utang Garuda. “Apalagi, ketika masih anggota DPR, dirinya pernah diminta salah satu menteri terdekat SBY untuk mencarikan solusi utang Garuda,” kenang Dradjad.

Kala itu, lanjut Dradjad, utang Garuda menggunung hingga US$8 miliar-US$9 miliar. Dari seluruh poin yang saya beberkan, ada dua poin yang tidak dilaksanakan Garuda. Sehingga jeblok lagi seperti saat ini. “Dua hal yang tidak dilakukan garuda adalah prudential investment dan cost effective operational. Benar saja, Garuda membaik sedikit ternyata ngebut lagi investasi beli pesawat,” terang Dradjad.

Selanjutnya, Dradjad membeberkan empat hal penting yang perlu dilakukan garuda. Kalau ingin nasibnya selamat dari jebakan utang. Pertama, negara mengambil alih sebagian utang Garuda. “Bisa bentuk konsorsium BUMN dan atau BLU. Efeknya buku Garuda jadi sehat,” ungkapnya.

Kedua, menurut Dradjad, Garuda harus menerapkan displin ketat terhadap dua hal yang pernah terlupakan. “Dua hal itu yang tadi saya sebutkan. Investasi super hati-hati, dan efisiensi besar-besaran dalam hal operasional,” ungkapnya.

Poin ketiga, Dradjad mengatakan, pemerintah perlu menyusun dewan direksi baru, pilih sosok yang benar-benar tegas dalam hal efisiensi. “Saya punya banyak teman di Garuda dan banyak mendapat cerita mengenai borosnya operasional,” ungkapnya.

Terakhir, lanjutnya, Garuda harus lebih cermat dan hati-hati dalam hal investasi. Dan, pemerintah khususnya aparat penegak hukum melakukan investigasi dengan teliti dan tegas tentang pengadaan aset di Garuda, terutama pembelian atau sewa pesawat.

“Untuk pengadaan yang bermasalah, ambil tindakan tegas terhadap suppliers, vendors, brokers dan financiers yang terlibat. Beri sanksi administratif, keuangan bahkan hukum kepada mereka jika perlu. Langkah ini berpotensi mengurangi beban utang Garuda terkait pengadaan,” terangnya.

“Ada satu catatan lagi. Pandemi COVID-19 membuat solusi penyelamatan GA menjadi lebih berat dijalankan. Tetapi masih bisa. Asal tegas, disiplin dan bersih dari konflik kepentingan apalagi KKN,” pungkasnya.

Menteri Erick mengatakan, perseroan kini sedang berupaya melakukan negosiasi dengan para lessor guna mendapatkan diskon atau dispensasi pembayaran. Sejauh ini, proses negosiasi terhadap 31 lessor masih berjalan.

“Negosiasi utang-utang Garuda yang mencapai US$ 7 miliar karena leasing cost termahal yang mencapai 26 persen dan juga korupsi lagi dinegosiasikan dengan para lessor. Meski demikian, kita tetap berusaha membuka opsi-opsi lain, paling tidak, agar bisa membantu pemulihan Garuda,” ujar Menteri Erick.

Jumlah utang Garuda ini, lebih besar daripada angka sebelumnya. Pada Mei 2021, utang jatuh tempo Garuda mencapai US$4,9 miliar atau setara Rp70 triliun. Sementara total utang Garuda mencapai Rp140 triliun.

https://www.inilah.com/selamatkan-garuda-ekonom-sarankan-ini

  • Hits: 777

Dradjad: PT Garuda Masih Bisa Diselamatkan

Sabtu 06 Nov 2021 12:33 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef, Dradjad Wibowo mengatakan PT Garuda Indonesia (GA) masih bisa diselamatkan dengan sejumlah cara. Di antaranya sebagian utangnya diambil alih oleh negara melalui konsorsium BUMN dan atau BLU.

“Efeknya buku GA akan menjadi sehat,” kata Dradjad melalui watsapp kepada Republika.co.id, Sabtu (6/11).

Dijelaskannya, ambil alih ini sifatnya sementara, dan dalam jangka waktu tertentu GA wajib mem-buy back utangnya ini. Selama utangnya dipegang pihak lain, GA tetap wajib membayar cicilan/bunga, tentu setelah direstrukturisasi dan disesuaikan kemampuan.

Langkah berikutnya, menurutnya, GA harus disiplin ketat melakukan dua poin yaitu investasi yang super hati-hati dan efisiensi besar-besaran dalam hal operasional. “Sama seperti dua poin dari saya ke pemerintahan pak SBY dulu,” ungkapnya.

Dikatakan Dradjad, pemerintah perlu menyusun dewan direksi yang sangat tegas soal efisiensi ini. "Saya punya banyak teman di Garuda dan banyak mendapat cerita mengenai borosnya operasional,” kata Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Untuk masalah investasi, lanjut Dradjad, investigasi dengan teliti dan tegas tentang pengadaan-pengadaan aset G, terutama pesawat. Untuk pengadaan yang bermasalah, kata Dradjad, harud diambil tindakan tegas terhadap suppliers, vendors, brokers dan financiers yang terlibat. Beri sanksi administratif, keuangan bahkan hukum kepada mereka jika perlu. "Langkah ini berpotensi mengurangi beban utang GA terkait pengadaan,” ungkapnya.

Diingatkannya, pandemi membuat solusi penyelamatan GA lebih berat dijalankan. Tapi masih bisa. Asal tegas, disiplin dan bersih dari konflik kepentingan apalagi KKN

https://www.republika.co.id/berita/r24y3r318/dradjad-pt-garuda-masih-bisa-diselamatkan

  • Hits: 837

Dradjad Sarankan Pemerintah Jangan Bergantung pada Utang

 

Selasa 05 Oct 2021 08:44 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom senior Indef Drajad Wibowo menyarankan pemerintah untuk mengubah haluan fiskal dan pertumbuhan ekonomi, dari terlalu bergantung pada utang menjadi bergantung pada penerimaan lain.

“Jangan lagi tergantung pada utang. Apakah masih ada (penerimaan lain)? Ada. Apakah susah? Iya susah. Tapi masih ada sumber yang masih bisa digali walaupun amat susah,” kata Dradjad dalam pesan suaranya kepada Republika.co.id, Selasa (5/10).

Dijelaskannya, dari sisi rasio utang terhadap PDB memang masih tergolong aman untuk ukuran internasional. Tapi yang bermasalah adalah pembayaran pokok dan bunga sudah terlalu banyak memakan pendapatan negara. “Memakan terlalu banyak pajak,” ungkap Dradjad.

Hal ini, menurutnya, sudah sangat tidak sehat, bahkan tidak aman. Pada 2019 pokok dan bunga utang yang dibayar mencapai Rp.685 triliun.   Artinya sekitar 35 persen dari penerimaan negara habis untuk membayar. Pada 2020, ratio ini naik menjadi 44 persen.

“Kalau dibanding dengan penerimaan pajaknya Dirjen Pajak, rationya menjadi 68 persen. Artinya 2/3 persen pajak kita yang diperoleh dari DJP itu habis untuk membayar pokok dan bunga utang,” papar Ketua Dewan Pakar PAN ini. Kondisi ini, lanjut Dradjad, sudah tidak amandari sisi stabilitas fiskal.

Dari sisi pertumbuhan, menurut Dradjad, porsi untuk membayar pokok dan bunga utang tersebut, membuat pertumbuhan menjadi tidak maksimal. Karena uang negara menjadi sedikit untuk mendorong belanja negara melalui pemerintah pusat.

“Sebagian belanja pemerintah pusat harus dialokasikan untuk pendidikan 20 persen, sebagian lagi dialokasikan lagi untuk otonomi daerah. Sehingga ruang fiskal untuk mendorong pertumbuhan, khususnya melalui belanja pusat yang bisa memicu konsumsi rumah tangga, menjadi sangat terbatas,” papar ekonom senior ini.

Konsekuensi lain dari besarnya utang, menurut Dradjad, jika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan, maka mau tak mau pemerintah harus menambah utang lagi. “(Tambahan utang ini) untuk membayar utang ataupun membuka ruang fiskal. Bagi saya ini sudah tidak sehat, karena bajet kita maupun pertumbuhan kita menjadi sangat tergantung pada utang,” kata Dradjad.

Dradjad mengingatkan, beban yang dialamipada 2019 maupun 2020, terjadi karena tahun-tahun sebelumnya. Jika saat ini uang terlalu tinggi, maka pada tahun-tahun mendatang rasio antara pembayaran utang dan penerimaan negara menjadi sangat besar.

“Ini efeknya akan sangat panjang. DI sisi lain, kita melihat situasi ekonomi dunia masih labil, dan itu akan membuat utang bisa menjadi salah satu faktor risiko untuk stabilitas fiskal,” paparnya.

Dradjad menyarankan pemerintah harus mengubah haluan fiskal dan pertumbuhan ekonomi, dari terlalu bergantung pada utang  menjadi bergantung pada penerimaan lain. “Saran ini simple tapi susah untuk melaksanakannya,” kata Dradjad.

Terlebih penerimaan lain ini, juga jangan sampai mengganggu pelaku usaha. "Jika menggali penerimaan dengan mengganggu pelaku usaha semua orang bisa. Tapi kita harus cerdas membuat skema-skema mencari sumber penerimaan yang tidak mengganggu pelaku usaha,” ungkap Dradjad.

https://www.republika.co.id/berita/r0he5l318/dradjad-sarankan-pemerintah-jangan-tergantung-pada-utang


 

  • Hits: 846

Page 21 of 28

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id