Ekonom: Skema Pemanfaatan Bersama Jaringan Listrik Bukan Solusi Pengembangan EBT

Selasa, 24 Januari 2023 15:06 WIB

Penulis: Seno Tri Sulistiyono

Editor: Choirul Arifin


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Klausul power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan listrik dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai bukan solusi tepat untuk mendorong pengembangan pembangkit.

 

Klausul power wheeling dinilai berpotensi merugikan negara dan menambah beban penyertaan modal negara (PMN).

 

Ekonom Drajad Wibowo mengatakan, saat ini negara sedang menghadapi tantangan kelebihan pasokan (oversupply) karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi.

 

Bahkan, kata Drajad, hingga tahun 2025, potensi oversupply ini bisa mencapai 9,5 GW. Terlebih lagi dengan adanya skema take or pay (ToP) yang mewajibkan PLN membayar kepada produsen listrik swasta (IPP).

 

"Justru dengan adanya skema power wheeling bisa mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listrik ini. Tentu keuangan PLN terbebani, yang ujungnya akan minta PMN lagi dari Kementerian Keuangan," ujar Drajad yang ditulis Selasa (24/1/2023).

 

Menurutnya, potensi beban akibat oversupply saat ini sebesar Rp 21 triliun yang bisa meningkat hingga Rp 28,5 triliun jika pemerintah meloloskan skema power wheeling.

 

Sebelumnya, skema ini justru digadang pemerintah mampu meningkatkan pengembangan EBT di Indonesia.

 

"Persoalan utama EBT adalah seefisien apapun pembangkitnya, harga listrik EBT tidak mungkin bersaing dengan listrik dari batubara. Batubara merupakan sumber energi yang sangat murah, tapi kotor dan tidak terbarukan," ujar Drajad.

 

Drajad mengungkapkan, saat ini harga listrik batubara hanya sekitar USD 3-5 sen/kWh. Sementara untuk EBT, harganya USD 6-7 sen/kWH untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), USD 7-8 sen/kWh untuk listrik biomassa.

Untuk geotermal di mana Indonesia memiliki sumber panas bumi terbesar kedua di dunia, harganya malah lebih mahal, antara USD 7-13 sen/kWh, kebanyakan di kisaran USD 11-12 sen/kWh.

Dengan struktur harga seperti itu, lanjut Drajad, bagaimana logikanya power wheeling bisa membantu perkembangan EBT. Konsumen akhir jelas lebih memilih listrik batubara yang murah.

 

Menurut dia, struktur harga EBT, solusinya bukan di power wheeling, tetapi kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

 

Drajad mengimbau sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja dan menggantinya dengan kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

 

"Karena itu, sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja. Kita fokus pada kebijakan afirmatif untuk mendorong EBT. Kebijakan afirmatif ini bisa berupa subsidi, bisa berupa insentif pajak, birokrasi dan sebagainya. Bukan power wheeling," paparnya.

 

https://www.tribunnews.com/bisnis/2023/01/24/ekonom-skema-pemanfaatan-bersama-jaringan-listrik-bukan-solusi-pengembangan-ebt

 

  • Hits: 438

Disebut Bukan Solusi Dorong EBT, Skema Pemanfaatan Bersama Jaringan Listrik Dikhawatirkan Bisa Bebani Keuangan Negara

24 Jan 2023, 12:13 WIB

 

Liputan6.com, Jakarta Indonesia dinilai masih menghadapi tantangan terkait kelebihan pasokan listrik karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Melihat ini, klausul penerapan power wheeling dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai bukan langkah tepat untuk mendorong pengembangan pembangkit dan  dikhawatirkan bisa  merugikan negara dan menambah beban penyertaan modal negara (PMN).

 

Ekonom Drajad Wibowo menjelaskan saat ini negara sedang menghadapi tantangan oversupply karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Bahkan, hingga ahun 2025, potensi oversupply ini bisa mencapai 9,5 GW. Terlebih lagi dengan adanya skema take or pay (ToP) yang mewajibkan PLN membayar kepada produsen listrik swasta (IPP).

 

"Justru dengan adanya skema power wheeling bisa mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listrik ini. Tentu keuangan PLN terbebani, yang ujungnya akan minta PMN lagi dari Kementerian Keuangan," ujar Drajad.

Ia menjelaskan potensi beban akibat oversupply saat ini sebesar Rp 21 triliun yang bisa meningkat hingga Rp 28,5 triliun jika pemerintah meloloskan skema power wheeling. Sebelumnya, skema ini justru digadang pemerintah mampu meningkatkan pengembangan EBT di Indonesia.

 

"Persoalan utama EBT adalah seefisien apapun pembangkitnya, harga listrik EBT tidak mungkin bersaing dengan listrik dari batubara. Batubara merupakan sumber energi yang sangat murah, tapi kotor dan tidak terbarukan," ujar Drajad.

 

Drajad mengungkapkan, saat ini harga listrik batubara hanya sekitar USD 3-5 sen/kWh. Sementara untuk EBT, harganya USD 6-7 sen/kWH untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), USD 7-8 sen/kWh untuk listrik biomassa. Bahkan untuk geotermal di mana Indonesia memiliki sumber panas bumi terbesar kedua di dunia, harganya malah lebih mahal, antara USD 7-13 sen/kWh, kebanyakan di kisaran USD 11-12 sen/kWh.

 

 

Sebaiknya Dihapus

 

Dengan struktur harga seperti itu,  dia mempertanyakan skema  power wheeling bisa membantu perkembangan EBT. Konsumer akhir jelas lebih memilih listrik batubara yang murah.

 

Menurut dia, struktur harga EBT, solusinya bukan di power wheeling. Solusinya adalah kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

 

Drajad mengimbau sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja dan menggantinya dengan kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

 

"Karena itu, sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja. Kita fokus pada kebijakan afirmatif untuk mendorong EBT. Kebijakan afirmatif ini bisa berupa subsidi, bisa berupa insentif pajak, birokrasi dan sebagainya. Bukan power wheeling," tutup Drajad.

 

https://www.liputan6.com/bisnis/read/5188112/disebut-bukan-solusi-dorong-ebt-skema-pemanfaatan-bersama-jaringan-listrik-dikhawatirkan-bisa-bebani-keuangan-negara

  • Hits: 383

Cara Kerja Skema Swasta 'Nebeng' Jaringan PLN yang Didepak dari RUU EBT

Selasa, 24 Jan 2023 21:30 WIB

 

Jakarta - Kementerian ESDM tidak memasukkan skema power wheeling dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Skema power wheeling sendiri yakni penggunaan jaringan tenaga listrik bersama antara PT PLN (Persero) dengan pembangkit swasta (Independent Power Producer/IPP) penghasil listrik EBT.

 

Hal itu pun disambut baik oleh Serikat Pekerja PT PLN (Persero). Ketua Serikat Pekerja PLN Pusat, Abrar Ali menilai, haram hukumnya kembali memasukkan power wheeling dalam RUU tersebut. Sebab menurutnya Presiden juga telah mengeluarkan skema tersebut dari daftar inventaris masalah (DIM).

 

"Haram hukumnya kembali memasukkan power wheeling dalam RUU EBET tersebut. Presiden RI Joko Widodo telah mengeluarkannya dari DIM, karena skema ini dinilai sangat membebani pemerintah dari sisi keuangan. Itu sebabnya Presiden Joko Widodo mengeluarkannya," tulis Abrar dalam keterangnya Selasa (24/1/2022).

 

Adapun skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik milik PLN. Skema ini diklaim memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit non-PLN ke fasilitas operasi perusahaan. Caranya dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN.

 

Abrar juga meminta kepada seluruh stakeholders PLN, untuk terus mengawal pembahasan RUU EBET tersebut. Pasalnya, dalam hal pengadaan energi listrik, konsep multi buyer single seller (MBSS) yang diberlakukan saat ini, juga dinilai sangat merugikan negara.

 

Konsep ini sesungguhnya merupakan pola unbundling. Padahal pola unbundling itu sendiri sudah dibatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan UUD Pasal 33. Kemudian UU tersebut diganti dengan UU No.30/2009 tentang ketenagalistrikan, dengan menghilangkan unbundling.

 

Abrar menilai, sikap Presiden RI Joko Widodo menolak untuk memasukkan power wheeling dalam DIM RUU EBET sudah sangat tepat.

 

"Keputusan Presiden Joko Widodo menolak power wheeling dalam DIM RUU EBET tersebut sudah sangat tepat. Kita sangat mengapresiasi sikap pemerintah ini. Mungkin di negara lain power wheeling itu ada yang sukses penerapannya. Tapi tidak dapat langsung diimplementasikan di negara ini, karena jelas berbeda karakter dalam segala hal, termasuk sejarah keberadaan perusahaan listrik nasional di tanah air. Kita harus ingat juga bahwa perusahaan ini (PLN) adalah salah satu aset bangsa yang terbesar, sehingga pengelolaannya harus murni dilakukan putra putri bangsa ini juga," paparnya.

 

Sementara, Ekonom Drajad Wibowo menilai power wheeling bukanlah solusi tepat untuk mendorong pengembangan pembangkit EBT. Menurutnya, kebijakan ini justru akan merugikan negara dan menambah beban penyertaan modal negara (PMN).

 

Drajad menjelaskan saat ini negara sedang menghadapi tantangan oversupply karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Bahkan, menurut Drajad hingga tahun 2025, potensi oversupply ini bisa mencapai 9,5 GW. Terlebih lagi, dengan adanya skema take or pay (ToP) yang mewajibkan PLN membayar kepada produsen listrik swasta (IPP).

 

"Justru dengan adanya skema power wheeling bisa mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listrik ini. Tentu keuangan PLN terbebani, yang ujungnya akan minta PMN lagi dari Kementerian Keuangan," ujar Drajad.

Drajad mengungkapkan, saat ini harga listrik batubara hanya sekitar US$ 3-5 sen/kWh. Sementara untuk EBT, harganya US$ 6-7 sen/kWH untuk

 

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan US$ 7-8 sen/kWh untuk listrik biomassa. Bahkan untuk geotermal di mana Indonesia memiliki sumber panas bumi terbesar kedua di dunia, harganya malah lebih mahal, antara US$ 7-13 sen/kWh, kebanyakan di kisaran US$ 11-12 sen/kWh.

 

Dengan struktur harga seperti itu, ia mempertanyakan skema power wheeling dalam membantu pengembangan EBT. Ia pun mengimbau sebaiknya pasal power wheeling dihilangkan. Ia usul untuk menggantinya dengan kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT yang mampu bersaing, meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

 

"Karena itu, sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja. Kita fokus pada kebijakan afirmatif untuk mendorong EBT. Kebijakan afirmatif ini bisa berupa subsidi, bisa berupa insentif pajak, birokrasi dan sebagainya. Bukan power wheeling," tutup Drajad.

 

https://finance.detik.com/energi/d-6532342/cara-kerja-skema-swasta-nebeng-jaringan-pln-yang-didepak-dari-ruu-ebt/amp

  • Hits: 509

Skema Power Wheeling Bisa Rugikan Keuangan Negara

Selasa, 24 Januari 2023 - 10:30 WIB

 

JAKARTA - Ekonom Drajad Wibowo menilai klausul power wheeling dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) bukanlah solusi tepat untuk mendorong pengembangan pembangkit. Kebijakan tersebut justru akan merugikan negara dan menambah beban penyertaan modal negara (PMN) di tengah tantangan oversupply karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi.

 

"Justru dengan adanya skema power wheeling bisa mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listrik ini. Tentu keuangan PLN terbebani, yang ujungnya akan minta PMN lagi dari Kementerian Keuangan," ujar Drajad, di Jakarta, Senin (24/1/2023).

 

Menurut dia potensi beban akibat oversupply saat ini sebesar Rp 21 triliun yang bisa meningkat hingga Rp 28,5 triliun jika pemerintah meloloskan skema power wheeling. Sebelumnya, skema ini justru digadang pemerintah mampu meningkatkan pengembangan EBT di Indonesia.

 

"Persoalan utama EBT adalah seefisien apapun pembangkitnya, harga listrik EBT tidak mungkin bersaing dengan listrik dari batubara. Batubara merupakan sumber energi yang sangat murah, tapi kotor dan tidak terbarukan," ujar Drajad.

 

Drajad mengungkapkan, saat ini harga listrik batubara hanya sekitar USD 3-5 sen/kWh. Sementara untuk EBT, harganya USD 6-7 sen/kWH untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), USD 7-8 sen/kWh untuk listrik biomassa. Bahkan untuk geotermal di mana Indonesia memiliki sumber panas bumi terbesar kedua di dunia, harganya malah lebih mahal, antara USD 7-13 sen/kWh, kebanyakan di kisaran USD 11-12 sen/kWh.

 

Dengan struktur harga seperti itu, lanjut Drajad, bagaimana logikanya power wheeling bisa membantu perkembangan EBT. Konsumer akhir jelas lebih memilih listrik batubara yang murah. Menurut dia, struktur harga EBT, solusinya bukan di power wheeling. Solusinya adalah kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

 

Drajad mengimbau sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja dan menggantinya dengan kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

 

"Karena itu, sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja. Kita fokus pada kebijakan afirmatif untuk mendorong EBT. Kebijakan afirmatif ini bisa berupa subsidi, bisa berupa insentif pajak, birokrasi dan sebagainya. Bukan power wheeling," tutup Drajad.

 

https://ekbis.sindonews.com/newsread/1004555/34/skema-power-wheeling-bisa-rugikan-keuangan-negara-1674568903

  • Hits: 489

Skema Power Wheeling, Ekonom: Keuangan PLN akan Terbebani

Selasa 24 Jan 2023 18:35 WIB

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ahmad Fikri Noor

 

Ekonom Dradjad Wibowo menilai klausul power wheeling bukan solusi untuk EBT.

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Dradjad Wibowo menilai klausul power wheeling dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) bukanlah solusi tepat untuk mendorong pengembangan pembangkit. Kebijakan ini justru akan merugikan negara dan menambah beban penyertaan modal negara (PMN). Dradjad menjelaskan, saat ini negara sedang menghadapi tantangan oversupply karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi.

 

Bahkan, menurut Dradjad, hingga 2025, potensi oversupply ini bisa mencapai 9,5 GW. Terlebih lagi dengan adanya skema take or pay (ToP) yang mewajibkan PLN membayar kepada produsen listrik swasta (IPP).

 

"Justru dengan adanya skema power wheeling bisa mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listrik ini. Tentu keuangan PLN terbebani, yang ujungnya akan minta PMN lagi dari Kementerian Keuangan," ujar Dradjad, Senin (22/1/2023).

 

Ia menjelaskan, potensi beban akibat oversupply saat ini sebesar Rp 21 triliun yang bisa meningkat hingga Rp 28,5 triliun jika pemerintah meloloskan skema power wheeling. Sebelumnya, skema ini justru digadang pemerintah mampu meningkatkan pengembangan EBT di Indonesia.

 

"Persoalan utama EBT adalah seefisien apapun pembangkitnya, harga listrik EBT tidak mungkin bersaing dengan listrik dari batu bara. Batu bara merupakan sumber energi yang sangat murah, tapi kotor dan tidak terbarukan," ujar Dradjad.

 

Dradjad mengungkapkan, saat ini harga listrik batu bara hanya sekitar 3-5 sen dolar AS per kWh. Sementara untuk EBT, harganya 6-7 sen dolar AS per kWH untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), 7-8 sen dolar AS per kWh untuk listrik biomassa. Bahkan untuk geotermal di mana Indonesia memiliki sumber panas bumi terbesar kedua di dunia, harganya malah lebih mahal, antara 7-13 sen dolar AS per kWh, kebanyakan di kisaran 11-12 sen dolar AS per kWh.

 

Dengan struktur harga seperti itu, Dradjad mengkritisi adanya kebijakan power wheeling untuk membantu perkembangan EBT. Menurutnya, konsumen akhir justru akan lebih memilih listrik batu bara yang murah. Menurut dia, struktur harga EBT, solusinya bukan di power wheeling. Solusinya adalah kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

 

"Karena itu, sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja. Kita fokus pada kebijakan afirmatif untuk mendorong EBT. Kebijakan afirmatif ini bisa berupa subsidi, bisa berupa insentif pajak, birokrasi, dan sebagainya. Bukan power wheeling," ujar Dradjad.

 

https://www.republika.co.id/berita/rozmvn490/skema-power-wheeling-ekonom-keuangan-pln-akan-terbebani

  • Hits: 414

Page 17 of 28

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id