PalmCo Jadi Pintu Masuk Revitalisasi Lahan PTPN Group

Liputan6.com

Diperbarui 12 Sep 2023, 15:20 WIB

 

Liputan6.com, Jakarta Rencana pendirian PalmCo diyakini dapat menjadi pintu masuk, bahkan kesempatan emas bagi PTPN Group untuk merevitalisasi lahan-lahan sawit yang belum optimal dikelola agar menjadi produktif, sehingga meningkatkan pendapatan perusahaan.

 

Ekonom Senior Dradjad Wibowo mengatakan proses merger unit bisnis sawit antara anak usaha PTPN Group menjadi menjadi momentum untuk mendata seluruh aset, termasuk memverifikasi lahan-lahan yang berpeluang dioptimasi.

 

Investasi Aman Pangkal Hidup Nyaman

“Karena dengan digabungkan, secara otomatis ada pendataan terhadap aset-aset. Aset akan dicek mana-mana aja. Jadi ini (PalmCo-red) jadi pintu masuknyalah. Jadi sebenarnya penggabungan itu momentumkan, kesempatan emas untuk bersih-bersih kemudian ditingkatkan,” jelas Dradjad Wibowo, dikutip Selasa (12/9/2023).

 

Apalagi, paparnya, ada rencana penambahan modal. Tentu investor dengan adanya PalmCo menjadi kesempatan due diligence atau aktivitas investigasi atau audit riwayat keuangan perusahaan.

 

Seperti diketahui, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V, VI dan XIII direncanakan akan bergabung ke dalam PTPN IV untuk membentuk Sub Holding bernama PalmCo yang khusus menggarap bisnis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya.

 

Hasil Merger

Dari hasil merger unit bisnis sawit di 4 anak usaha PTPN Grup itu, maka PalmCo serta merta akan memiliki lahan sawit seluas 500.000 ha. Namun, berdasarkan data PTPN Group masih ada optimalisasi dan revitalisasi sekitar 200.000 ha.

 

Lebih jauh, Dradjat mengatakan pemanfaatan lahan secara penuh memang menjadi salah satu “penyakit” BUMN yang memiliki lahan luas. Kondisi ini, menurutnya, tidak bisa dibiarkan terus menerus, tetapi harus ada upaya bersih-bersih dan cara yang efektif adalah Merger dan Akuisisi (M&A).

 

“Jadi itu sebenarnya jadi kesempatan untuk bersih-bersih. Kalau program Erick Thohir (Menteri BUMN Erick) memang banyak yang kita support ya, termasuk untuk merger BUMN. Ini memang posisinya kita support,” terangnya.

Pendataan Lahan

Dengan demikian, paparnya, semua lahan dapat didata, dirapikan dan dikembalikan ke perusahaan. Misalnya, lahan mana yang dikuasai perusahaan, digarap masyarakat, disewakan hingga diselewengkan oleh oknum atau pihak tertentu.

 

“Yang masih dikuasai perusahaan namun belum optimal, bisa langsung dilakukan penanaman. Kalau yang sudah diambil masyarakat secara tidak sah, tentu cara penanganannya berbeda,” lanjutnya.

 

Di sisi lain, upaya bersih-bersih melalui M&E, ujarnya lagi, tidak hanya untuk lahan, tetapi juga sumber daya manusia. “Jadi termasuk bersih-bersih manajemennya, nantikan Kementerian BUMN tahu track recordnya. Mana yang baik, mana yang bandel, siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu kan nanti kelihatan.

Jadi Agent Of Development, PalmCo Bantu Pemerataan Ekonomi

Hamparan kebun sawit yang masuk dalam program peremajaan sawit rakyat PTPN V. (Liputan6.com/M Syukur)

 

Rencana pembentukan PalmCo diharapkan dapat berperan besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sebagai Agent of Development yang memperkuat industri sawit nasional.

 

Menteri Pertanian periode 2000-2004 Bungaran Saragih mengatakan tidak hanya menggerakkan pertumbuhan ekonomi, tetapi rencana pembentukan PalmCo juga memiliki potensi untuk membantu menciptakan pemerataan hasil perekonomian yang berkelanjutan.

 

Namun, jelasnya, kondisi itu hanya akan dapat dicapai jika PalmCo yang menurut rencana nantinya merupakan Sub Holding PTPN Group di bisnis kelapa sawit dipertegas posisinya sebagai Agent of Development atau lembaga yang mengerahkan dana untuk pembangunan ekonomi rakyat.

 

"Satu-satunya justifikasi PalmCo dalam perekonomian adalah jika perannya dipertegas sebagai Agent of Development. Sehingga, Pemerintah dapat ikut mengendalikan strategi bisnis perusahaan untuk kepentingan rakyat," tegas Bungaran yang juga menjabat Ketua Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dikutip Selasa (22/8/2023).

Kelapa Sawit

Indonesia, menurutnya, masih membutuhkan Agent of Development di bidang kelapa sawit karena negara ini bukan lagi hanya sebagai produsen terbesar, tetapi juga konsumen produk sawit terbesar di dunia.

 

“Kita bukan hanya perusahaan sawit terbesar di dunia, tetapi juga konsumen sawit terbesar di dunia, seperti minyak goreng, biodiesel dan lain-lain itu. Tentu untuk ini masih diperlukan kebijakan pemerintah untuk mengaturnya,” ujar Prof Bungaran.

 

Dia mengatakan kurang tegasnya peran PTPN selama ini sebagai agent of development untuk sawit, menjadikan Pemerintah kewalahan jika terjadi lonjakan harga sawit di luar negeri, seperti yang terjadi tahun lalu di awal Perang Ukraina-Rusia.

 

"Bukan seperti sekarang ini, kalau ada gejolak harga di luar negeri, kewalahan Pemerintah mengamankan persediaan di dalam negeri. Kewalahan gitu. Kalau ada PalmCo kan tinggal diperintahkan saja, sediakan anggarannya," tambahnya.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/5395570/palmco-jadi-pintu-masuk-revitalisasi-lahan-ptpn-group?page=4

  • Hits: 296

PalmCo Menjadi Pintu Masuk Revitalisasi Lahan PTPN Group

Kamis, 14 September 2023 | 11:08 WIB

Penulis : KompasTV Pontianak

 

KOMPAS.TV - Rencana pendirian PalmCo diyakini dapat menjadi pintu masuk, bahkan kesempatan emas bagi ptpn Group untuk merevitalisasi lahan-lahan sawit yang belum optimal dikelola agar menjadi produktif, sehingga meningkatkan pendapatan perusahaan.

 

Ekonom Senior dan Pendiri INDEF Dradjad Wibowo mengatakan, proses merger unit bisnis sawit antara anak usaha PTPN Group menjadi momentum untuk mendata seluruh aset, termasuk memverifikasi lahan-lahan yang berpeluang dioptimasi.

 

“Karena dengan digabungkan, secara otomatis ada pendataan terhadap aset-aset. Aset akan dicek mana-mana aja. Jadi ini (PalmCo) jadi pintu masuknyalah. Jadi sebenarnya penggabungan itu momentumkan, kesempatan emas untuk bersih-bersih kemudian ditingkatkan,” jelas Dradjad Wibowo kepada wartawan di Jakarta, Jumat (7/9/2023).

 

Apalagi, paparnya, ada rencana penambahan modal. Tentu investor dengan adanya PalmCo menjadi kesempatan due diligence atau aktivitas investigasi atau audit riwayat keuangan perusahaan.

 

Seperti diketahui, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V, VI dan XIII direncanakan akan bergabung ke dalam PTPN IV untuk membentuk Sub Holding bernama PalmCo yang khusus menggarap bisnis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya.

 

Dari hasil merger unit bisnis sawit di 4 anak usaha PTPN Grup itu, maka PalmCo serta merta akan memiliki lahan sawit seluas 500.000 ha. Namun, berdasarkan data PTPN Group masih ada optimalisasi dan revitalisasi sekitar 200.000 ha.

 

Lebih jauh, Dradjat mengatakan, pemanfaatan lahan secara penuh memang menjadi salah satu “penyakit” BUMN yang memiliki lahan luas. Kondisi ini, menurutnya, tidak bisa dibiarkan terus menerus, tetapi harus ada upaya bersih-bersih dan cara yang efektif adalah Merger dan Akuisisi (M&A).

 

“Jadi itu sebenarnya, jadi kesempatan untuk bersih-bersih. Kalau program Erick (Menteri BUMN Erick Thohir-red) memang banyak yang kita support ya, termasuk untuk merger BUMN. Ini memang posisinya kita support,” ucapnya.

 

Dengan demikian, paparnya, semua lahan dapat didata, dirapikan dan dikembalikan ke perusahaan. Misalnya, lahan mana yang dikuasai perusahaan, digarap masyarakat, disewakan hingga diselewengkan oleh oknum atau pihak tertentu.

 

“Yang masih dikuasai perusahaan namun belum optimal, bisa langsung dilakukan penanaman. Kalau yang sudah diambil masyarakat secara tidak sah, tentu cara penanganannya berbeda,” lanjutnya.

 

Di sisi lain, upaya bersih-bersih melalui M&E, ujarnya lagi, tidak hanya untuk lahan, tetapi juga sumber daya manusia.

 

“Jadi termasuk bersih-bersih manajemennya, nantikan Kementerian BUMN tahu track recordnya. Mana yang baik, mana yang bandel, siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu kan nanti kelihatan. Ini (pembentukan PalmCo) kesempatan,” terangnya.

Waspadai kepentingan politik

Di sisi lain, Dradjat Wibowo mengingatkan, merger dan akusisi perusahaan milik negara memiliki sisi negatif, yaitu berpotensi menjadi kesempatan masuknya kepentingan politik yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan kinerja perusahaan.

 

“Jadi ini harus diwanti-wanti agar PalmCo dipastikan dikelola oleh orang professional. Sehingga, target Pemerintah untuk menjadikan PalmCo menjadi perusahan profit dan berdampak besar bagi perekonomian masyarakat dapat tercapai,” jelasnya.

 

Mengenai rencana PalmCo melepas sebagian saham ke publik melalui IPO, Dradjat mengatakan menjadi emiten akan membantu perbaikan perusahaan, terutama dari sisi transparansi dan tata kelola peerusahaan, Namun, dia menganjurkan, saham yang dilepas jangan terlalu besar, sebaiknya sekitar 20 persen saja sesuai dengan kebutuhan tambahan modal. Sehingga, Pemerintah tidak kehilangan kendali karena lahan PalmCo sangat luas dan strategis.

 

Agar target dana yang dibutuhkan dapat tercapai tanpa melepas banyak saham, dia mengatakan PalmCo dan Kementerian BUMN harus berupaya meningkatkan nilai aset perusahaan terlebih dahulu sebelum listing di pasar saham.

 

Dia mencontohkan strategi merger dan akuisisi yang telah dilakukan di BUMN perbankan saat krisis. Setelah dilakukan pendataan dan bersih-bersih aset, sahammya di lepas ke publik, sehingga mau tidak mau bank mengeluarkan laporan ke publik.

 

“Ini pengalaman bank setelah bersih-bersih. Waktu masuk krisis itukan bank-bank itu, massih bermasalah, kredit macet dan KKN dan segala macam. Dibersihkan, nilainya naik, kemudian dilepas ke bursa. Mudah-mudahan, PTPN yang punya lebih banyak cerita macam-macam, bisa seperti itu,” kata Dradjat.

 

Di sisi lain, upaya bersih-bersih melalui M&E, ujarnya lagi, tidak hanya untuk lahan, tetapi juga sumber daya manusia.

 

“Jadi termasuk bersih-bersih manajemennya, nantikan Kementerian BUMN tahu track recordnya. Mana yang baik, mana yang bandel, siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu kan nanti kelihatan. Ini (pembentukan PalmCo) kesempatan,” terangnya.

 

 

https://www.kompas.tv/regional/443322/palmco-menjadi-pintu-masuk-revitalisasi-lahan-ptpn-group?page=2

  • Hits: 317

Efektifkah Subsidi Energi Mengurangi Kemiskinan?

Kompas.com - 15/04/2023, 17:41 WIB

 

Editor : Palupi Annisa Auliani

 

Oleh: M Rizal Taufikurahman, Ade Holis, dan Dradjad Wibowo

 

SUBSIDI energi di Indonesia secara umum terdiri dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG) tabung 3 kg, serta subsidi listrik.

 

Pada 2022, realisasi subsidi energi melonjak menjadi Rp 208.928,4 miliar dalam perkiraan awal, naik hampir 21 persen dari realisasi 2021 yang sebesar Rp140.395,2 miliar.

 

Lonjakan tersebut banyak dipengaruhi realisasi asumsi dasar ekonomi makro, volume penyaluran BBM dan LPG bersubsidi, serta kebijakan besaran subsidi tetap untuk minyak solar.

 

Subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg memegang porsi terbesar dalam subsidi energi, mencapai 63,2 persen pada 2018. Pada 2021 proporsi ini turun sedikit menjadi 59,7 persen, lalu kembali melonjak menjadi 71,5 persen pada 2022.

 

Lonjakan subsidi tersebut memunculkan tantangan kebijakan mengenai cara menjaga subsidi energi dapat terkendali dan efisien, sementara pada saat yang sama tepat sasaran membantu masyarakat menengah rentan miskin dan miskin.

 

Tantangan ini menjadi semakin berat karena harga energi dunia sedang sangat fluktuatif. Kita tahu, lonjakan harga energi akan menaikkan inflasi umum, yang pada gilirannya menaikkan jumlah penduduk miskin.

 

Pertanyaan mendasarnya kemudian, seberapa efektifkah subsidi energi mencegah masyarakat tidak miskin jatuh ke bawah garis kemiskinan?

 

Tulisan ini menyajikan sebagian dari hasil kajian Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) terkait efektivitas subsidi energi dalam mengurangi kemiskinan.

 

Mengingat tingkat kemiskinan nelayan jauh di atas kemiskinan penduduk bukan nelayan, Indef juga melihat dampaknya terhadap nelayan.

 

Kemiskinan

Kemiskinan dapat dipandang sebagai ketidakmampuan orang atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

 

Penduduk dimasukkan ke dalam kategori miskin jika memiliki pengeluaran per kapita rata-rata per bulan yang berada di bawah garis kemiskinan. Untuk 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung garis kemiskinan sebesar Rp 505.469 per kapita per bulan pada Maret dan Rp 535.547 per kapita per bulan pada September.

 

Berdasarkan data BPS, pada Maret 2022, penduduk miskin di Indonesia berjumlah 26,16 juta jiwa, atau sekitar 9,54 persen dari dari total populasi sebanyak 274,2 juta jiwa. Penduduk yang tergolong “bukan nelayan” berjumlah 265,4 juta jiwa, dengan 25,1 juta jiwa atau 9,46 persen di antaranya dikategorikan miskin.

 

Penduduk yang menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan hingga Maret 2022 ada sekitar 8,8 juta jiwa, atau 3,2 persen dari populasi Indonesia. Jika segmen populasi ini dijadikan proksi dari “nelayan”, terdapat sekitar 1,1 juta jiwa penduduk atau 12,5 persen yang masuk kategori miskin. Artinya, tingkat kemiskinan pada penduduk “nelayan” jauh lebih tinggi dari penduduk “bukan nelayan”.

 

Untuk mengestimasi dampak dari subsidi energi terhadap kemiskinan, Indef menerapkan metode microsimulation dengan menggunakan rumus Foster-Greer-Thorbecke untuk mengukur tingkat kemiskinan. Perubahan harga energi ditansmisikan dampaknya terhadap tingkat kemiskinan melalui kenaikan garis kemiskinan, menggunakan asumsi pendapatan tetap. Data yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS Maret 2022. Harga energi yang dikaji adalah harga BBM dan LPG 3 kg.

 

Untuk BBM, peranan subsidi terhadap kemiskinan dihitung dengan membandingkan kenaikan jumlah penduduk miskin jika harga BBM naik tetapi masih mengandung unsur subsidi dan kondisi ketika harga BBM naik mengikuti harga keekonomian dengan rata-rata kenaikan 92 persen (asumsi tanpa subsidi).

 

Dalam perhitungan ini, BBM mengalami kenaikan rata-rata sebesar 36,5 persen, dengan Pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, Solar bersubsidi naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, dan Pertamax naik dari Rp 9.000 per liter menjadi Rp 14.500 per liter. Dengan kata lain, 60 persen kenaikan harga menuju harga keekonomian masih disubsidi oleh pemerintah. Selisih penambahan jumlah penduduk miskin dari kedua simulasi tersebut merupakan peranan subsisi BBM dalam menjaga kemiskinan dengan asumsi pendapatan penduduk tetap.

 

Untuk LPG 3 kg, peranan subsidi dihitung dengan melakukan simulasi kenaikan harga LPG mengikuti harga pasar.

 

Peranan subsidi

Kajian yang dilakukan Indef menghasilkan beberapa temuan menarik. Pertama, sejumlah besar rumah tangga miskin ternyata tidak menikmati subsidi BBM maupun LPG 3 kg.

 

Sebagaimana terlibat dari infografris di bawah ini, terdapat sekitar 30 persen rumah tangga miskin, atau sekitar 1,6-1,7 juta rumah tangga, yang tidak menggunakan kedua produk bersubsidi tersebut.

unknown.png

unknown_1.png

Untuk rumah tangga dengan kemiskinan ekstrem, proprosinya bahkan lebih besar, yaitu 41 persen yang bukan pengguna BBM dan 37 persen yang bukan pengguna LPG 3 kg.

 

Salah satu dugaan penyebabnya adalah karena saking miskinnya, mereka tidak mempunyai kendaraan dan atau peralatan rumah tangga yang memerlukan kedua produk bersubsidi tersebut.

 

Temuan di atas menunjukkan bahwa subsidi BBM dan LPG 3 kg yang tidak tepat sasaran menjangkau penduduk miskin ternyata cukup besar, jika dilihat dari porsi penduduk miskin yang tidak menikmatinya.

 

Artinya, terdapat kebutuhan yang sangat mendesak untuk mendesain skema subsidi energi yang dinikmati oleh semua penduduk miskin.

 

Kedua, subsidi BBM sebagaimana simulasi Indef, yaitu sebesar 60 persen dari kenaikan yang semestinya jika merujuk harga keekonomian, ternyata mampu mencegah sekitar 5,7 juta jiwa penduduk Indonesia tidak jatuh menjadi penduduk miskin.

 

Dalam simulasi Indef, jika harga BBM naik tapi tetap disubsidi maka jumlah penduduk miskin akan bertambah sebanyak 2,8 juta jiwa, terdiri dari penambahan 2,7 juta jiwa “bukan nelayan” dan 99.000 jiwa “nelayan”.

 

Namun, jika subsidi dihapuskan menjadi nol maka jumlah penduduk miskin naik sebanyak 8,5 juta jiwa, terdiri dari 8,2 juta jiwa “bukan nelayan” dan 297.000 jiwa “nelayan”.

 

Dengan kata lain, subsidi harga BBM sebesar 60 persen dari kenaikan semestinya diperkirakan mampu mengurangi sekitar dua per tiga dari potensi pertambahan jumlah penduduk miskin.

 

Adapun jika harga LPG 3 kg tidak lagi disubsidi, sehingga harganya naik dari Rp 5.333 per kg menjadi Rp 20.700 per kg, hasil simulasi menunjukkan bahwa akan ada 6,9 juta jiwa penduduk yang tadinya tidak miskin menjadi miskin.

 

Implikasi kebijakan

Situasi pasar energi dunia saat ini masih terus bergejolak. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa bahkan mengalami tekanan inflasi yang berat akibat gejolak harga energi.

 

Gejolak harga energi tersebut secara tidak langsung mulai menimbulkan korban di sektor perbankan. Ini karena, tekanan inflasi membuat suku bunga di Amerika Serikat naik, yang selanjutnya merusak nilai surat-surat berharga yang sensitif terhadap suku bunga.

 

Akibatnya, bank dengan eksposur tinggi mengalami kerugian portofolio yang besar, yang kemudian membuat deposan panik dan me-rush bank tersebut. Itu yang membuat Silicon Valley Bank ambruk pada 10 Maret 2023.

 

Risiko terjadinya krisis sistemik perbankan global tidak bisa diabaikan, meskipun masih relatif terkendali.

 

Dalam situasi di atas, tekanan kenaikan harga energi bersubsidi bisa muncul setiap saat, antara lain untuk menjaga stabilitas fiskal.

 

Kajian Indef menunjukkan, jika kemiskinan menjadi salah satu tolok ukur kunci kebijakan maka subsidi energi tetap diperlukan. Besarannya tentu menyesuaikan situasi yang dihadapi.

 

Meski demikian, desain subsidi perlu diperbaiki secara drastis agar penduduk termiskin seperti nelayan ikut menikmatinya. Prasyarat dasarnya, data penduduk miskin perlu dipastikan akurat dan terkini.

 

Karena itu, pemanfaatan teknologi informasi dan komputasi (TIK) tidak bisa dihindari. Keberhasilan aplikasi PeduliLindungi dalam penanganan pandemi Covid-19 menjadi contoh bahwa Indonesia seharusnya bisa pula menerapkan aplikasi TIK untuk memastikan subsidi energi tepat sasaran.

 

Hal penting lainnya, subsidi ini perlu menyasar aktivitas konsumsi dan produksi dari penduduk miskin sekaligus. Jika hanya menyentuh aktivitas konsumsi maka porsi penduduk miskin yang tidak menikmati subsidi energi akan tetap besar.

 

* M Rizal Taufikurahman adalah Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Ade Holis adalah dosen IPB. Adapun Dradjad Wibowo adalah ekonom senior Indef dan Ketua Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI)

 

https://money.kompas.com/read/2023/04/15/174152526/efektifkah-subsidi-energi-mengurangi-kemiskinan?page=4


  • Hits: 350

Bukan Solusi EBT, Power Wheeling Bakal Bebani Keuangan Negara

Atikah Umiyani/MPI

24/01/2023 10:56 WIB

 

IDXChannel - Klausul power wheeling dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai bukan solusi yang tepat dalam mendorong percepatan transisi energi.

 

Ekonom Drajad Wibowo menyebut, power wheeling akan mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listriknya. Hal ini tentu merugikan negara karena menambah beban penyertaan modal negara (PMN).

Saat ini negara sedang menghadapi tantangan oversupply karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Bahkan hingga 2025, potensi oversupply ini bisa mencapai 9,5 GW.

 

"Justru dengan adanya skema power wheeling bisa mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listrik ini. Tentu keuangan PLN terbebani, yang ujungnya akan minta PMN lagi dari Kementerian Keuangan," ujar Drajad dalam keterangan resminya, Selasa (22/1/2023).

 

Ia menjelaskan potensi beban akibat over supply saat ini sebesar Rp 21 triliun yang bisa meningkat hingga Rp 28,5 triliun jika pemerintah meloloskan skema power wheeling. Sebelumnya, skema ini justru digadang pemerintah mampu meningkatkan pengembangan EBT di Indonesia.

"Persoalan utama EBT adalah seefisien apapun pembangkitnya, harga listrik EBT tidak mungkin bersaing dengan listrik dari batubara. Batubara merupakan sumber energi yang sangat murah, tapi kotor dan tidak terbarukan," ujar Drajad.

 

Drajad mengungkapkan, saat ini harga listrik batubara hanya sekitar USD 3-5 sen/kWh. Sementara untuk EBT, harganya USD 6-7 sen/kWH untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), USD 7-8 sen/kWh untuk listrik biomassa.

Bahkan untuk geothermal di mana Indonesia memiliki sumber panas bumi terbesar kedua di dunia, harganya malah lebih mahal, antara USD 7-13 sen/kWh, kebanyakan di kisaran USD 11-12 sen/kWh.

 

Dengan struktur harga seperti itu, lanjut Drajad, bagaimana logikanya power wheeling bisa membantu perkembangan EBT. Konsumer akhir jelas lebih memilih listrik batubara yang murah.

 

Menurut dia, struktur harga EBT, solusinya bukan di power wheeling. Solusinya adalah kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

 

Drajad mengimbau sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja dan menggantinya dengan kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

 

"Karena itu, sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja. Kita fokus pada kebijakan afirmatif untuk mendorong EBT. Kebijakan afirmatif ini bisa berupa subsidi, bisa berupa insentif pajak, birokrasi dan sebagainya. Bukan power wheeling," tutup Drajad.

(DES)

 

https://www.idxchannel.com/economics/bukan-solusi-ebt-power-wheeling-bakal-bebani-keuangan-negara/3

  • Hits: 456

Ada Ancaman Beban PMN di Klausul RUU EBT Masalah konsumsi listrik EBT ada di harga

23 Jan 23 | 20:17

 

Jakarta, IDN Times - Skema power wheeling yang merupakan salah satu klausul Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) masih menuai kritik. Ekonom Drajad Wibowo membeberkan ada ancaman beban Penyertaan Modal Negara (PMN) jika klausul itu diloloskan.

 

Skema power wheeling berkaitan dengan rencana pembangkit listrik swasta (Independent Power Producer/IPP). Dalam klausul itu, pembangkit listrik swasta bisa mendapat kewenangan menjual listrik ke publik.

 

Drajad mengatakan, saat ini negara sedang menghadapi tantangan kelebihan pasokan atau oversupply listrik karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Bahkan, menurut Drajad hingga 2025, potensi oversupply ini bisa mencapai 9,5 gigawatt (GW). Apalagi, dalam skema power wheeling, ada skema take or pay (ToP) yang mewajibkan PLN membayar kepada produsen listrik swasta.

 

"Justru dengan adanya skema power wheeling bisa mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listrik ini. Tentu keuangan PLN terbebani, yang ujungnya akan minta PMN lagi dari Kementerian Keuangan," ujar Drajad dikutip dari keterangan resmi, Senin (23/1/2023).

 

1. Potensi beban kelebihan pasokan listrik bisa mencapai Rp21 triliun

Menurut Drajad, ada potensi beban akibat oversupply yang bisa mencapai Rp21 triliun, bahkan bisa meningkat hingga Rp28,5 triliun jika pemerintah meloloskan skema power wheeling.

Pemerintah sendiri menggadang-gadang skema tersebut untuk pengembangan EBT di Indonesia. Namun, menurutnya skema power wheeling bukan solusi efektif.

 

"Persoalan utama EBT adalah seefisien apapun pembangkitnya, harga listrik EBT tidak mungkin bersaing dengan listrik dari batu bara. Batu bara merupakan sumber energi yang sangat murah, tapi kotor dan tidak terbarukan," ujar Drajad.

 

2. Perlu upaya besar buat tingkatkan minat masyarakat mengkonsumsi listrik dari pembangkit EBT

 

Drajad menuturkan saat ini harga listrik batubara hanya sekitar 3-5 sen dolar AS per kWh. Sementara untuk EBT, harganya mencapai 6-7 sen dolar AS/kWH untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan 7-8 sen dolar AS/kWh untuk listrik biomassa. Bahkan, untuk geotermal di mana Indonesia memiliki sumber panas bumi terbesar kedua di dunia, harganya lebih tinggi lagi, antara 7-13 sen dolar AS/kWh, dan umumnya di kisaran 11-12 sen dolar AS/kWh.

 

Melihat kondisi itu, tidak mudah untuk mengajak masyarakat mengkonsumsi listrik dari pembangkit EBT. Oleh sebab itu, dia kembali menegaskan, untuk meningkatkan konsumsi listrik EBT, solusinya adalah harga yang perlu dipangkas, bukan power wheeling.

3. Ekonom minta klausul skema power wheeling dihapus

Drajad pun meminta agar pemerintah dan DPR menghapus klausul mengenai skema power wheeling, dan menggantinya dengan kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

 

"Karena itu, sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja. Kita fokus pada kebijakan afirmatif untuk mendorong EBT. Kebijakan afirmatif ini bisa berupa subsidi, bisa berupa insentif pajak, birokrasi dan sebagainya. Bukan power wheeling," ucap Drajad.

 

https://www.idntimes.com/business/economy/vadhia-lidyana-1/ada-ancaman-beban-pmn-di-klausul-ruu-ebt?page=all

  • Hits: 507

Page 16 of 28

About SDI


Sustainable development is defined as “development that meets the current need without reducing the capability of the next generation to meet their need (UNCED, 1992)

Partner

Contact Us

Komplek Kehutanan Rasamala
Jl.Rasamala No.68A
Ciomas,Bogor Jawa Barat 16610

Telp : 0251-7104521 
Fax  : 0251-8630478
Email: sdi@sdi.or.id